batas aurat bagi seorang wanita

Oleh: Adhyt Makahenggeng *


Batas aurat sebenarnya bisa dibaca langsung dari buku-buku fiqh atau buku-buku lain yang membahas persoalan ini. Namun demikian, saya mencoba meringkas batasan aurat ini sebagai berikut.

Para ulama telah sepakat bahwa seorang wanita wajib menutup seluruh auratnya. Hanya saja, seberapa jauh batasan aurat wanita itu? Para ulama dalam hal ini berbeda pendapat. Sebagian ulama berpendapat bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat. Oleh karena itu, wanita wajib menutup seluruh tubuhnya termasuk wajib menutup muka dan kedua telapak tangannya. Bagi yang berpendapat seluruh tubuh wanita adalah aurat, mereka kemudian mewajibkan wanita untuk bercadar dan memakai sarung tangan.

Sedangkan menurut pendapat lainnya, bahwa seluruh tubuh wanita aurat kecuali muka dan telapak tangan. Oleh karenanya, kelompok ini berpendapat, bahwa wanita harus menutup seluruh tubuhnya, kecuali menutup muka dan telapak tangan. Artinya, untuk muka dan telapak tangan boleh tidak ditutup karena kaduanya, menurut kelompok ini, tidak termasuk aurat. Hanya saja, kalaupun wanita tersebut hendak menutup muka dan kedua telapak tangannya, maka hukumnya hanyalah sunnah saja, bukan wajib. Untuk lebih memperjelas masalah ini, berikut penulis ketengahkan alasan-alasan masing-masing pendapat tersebut.

Para ulama yang mengatakan bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat dan karenanya muka serta kedua telapak tangan juga wajib ditutup, di antaranya beralasan:

Firman Allah dalam surat al-Ahzab ayat 53 yang artinya, "Dan apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri- istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka" (QS. Al-Ahzab: 53).

Ayat ini turun ketika Rasulullah saw menikahi Zainab bint Jahsy. Rasulullah saw lalu mengadakan walimah dan mengundang para sahabat untuk menghadirinya. Setelah hamper seluruh sahabat pulang, ada beberapa orang yang tetap saja diam tidak segera pulang. Padahal Rasulullah saw saat itu, sudah lelah dan sudah berharap agar para sahabat segera meninggalkannya. Rasulullah saw saat itu ditemani oleh Zainab terus keluar masuk dengan maksud agar para sahabat memahami dan segera pulang. Tidak lama kemudian, turunlah ayat ini yang memerintahkan agar Rasulullah saw memberikan tabir (hijab, penghalang) antara para sahabat dengan isterinya itu dengan maksud agar para sahabat tidak dapat melihat isterinya, Zainab bint Jahsy.

Oleh mereka yang berpendapat bahwa aurat wanita adalah seluruh tubuhnya berpendapat bahwa ayat ini merupakan dalil bahwa wanita harus menutup seluruh tubuhnya termasuk muka dan kedua telapak tangannya. Buktinya, dalam ayat di atas, Zainab binti Jahsy pun disuruh untuk melakukan hal itu; membatasinya dengan memakai hijab, penghalang. Kalau seandainya muka dan kedua telapak tangan boleh dibuka dan tidak ditutup, tentu Allah tidak akan memerintahkan Rasulullah saw untuk memasang hijab..

Meskipun ayat ini turun untuk konteks isteri Rasulullah saw, lanjut kelompok ini, namun hukumnya berlaku juga untuk seluruh wanita, termasuk wanita-wanita saat ini.

Ayat lainnya yang dijadikan dalil oleh kelompok pertama ini adalah; QS. Al-Ahzab: 59. “Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya (jilbab adalah sejenis baju kurung yang lapang yang dapat menutup kepala, muka dan dada).ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

Menurut kelompok pertama, ayat ini juga menjadi dalil wajibnya menutup seluruh tubuh wanita termasuk muka dan kedua telapak tangan. Karena kata yudniina (mengulurkan) ditafsirkan oleh kelompok ini dengan menutup seluruh muka juga, sehingga yang nampak hanyalah kedua mata saja untuk melihat.

Dalil lainnya adalah hadits Rasulullah saw berikut ini: Rasulullah saw bersabda: "Wanita itu adalah aurat. Apabila ia keluar rumah, maka ia akan dihias oleh syaithan (sehingga laki-laki akan senang melihatnya)" (HR. Turmudzi dan Thabari dan haditsnya Shahih).

Asma binti Abu Bakar berkata: "Kami biasa menutup muka kami dari tatapan kaum laki-laki. Padahal sebelumnya, ketika kami sedang Ihram, kami bias bersisir (merapihkan rambut)" (HR. Hakim dan sanad hadits tersebut Shahih).

Sedangkan alasan kelompok kedua yang mengatakan bahwa aurat wanita seluruh tubuhnya kecuali muka dan telapak tangan, oleh karenanya, menutup muka dan telapak tangan bukanlah sebuah kewajiban akan tetapi sunnah saja, sebagaimana Firman Allah : QS. An-Nur: 31.

Artinya: "Kecuali yang (biasa) nampak dari padanya." (QS. An-Nur: 31). Menurut kelompok ini, bahwa dalam ayat di atas Allah mewajibkan wanita untuk menutup seluruh tubuhnya karena aurat, hanya saja, Allah mengecualikan dua hal yang biasa nampak. Dan dua hal yang biasa nampak yang dikecualikan dalam ayat di atas, menurut kelompok ini, adalah muka dan telapak tangan. Hal ini didasarkan kepada hadits-hadits berikut ini:

"Dari Aisyah, bahwasannya adik perempuannya, Asma binti Abi Bakar masuk menemui Rasulullah saw sambil memakai pakaian tipis transparan. Rasulullah saw lalu berpaling dan bersabda: "Wahai Asma, sesungguhnya wanita itu, apabila ia telah haid, maka tidak boleh menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini", Rasulullah saw sambil berisyarat kepada muka dan kedua telapak tangannya" (HR. Abu Dawud, dan haditsnya Dhaif).

Hanya saja, hadits ini dhaif. Namun demikian, masih banyak hadits lainnya yang menguatkan bahwa muka dan kedua telapak tangan itu bukanlah aurat, sehingga hadits-hadits tersebut menguatkan satu sama lain. Hadits-hadits dimaksud adalah:

“Dari Jabir bin Abdillah bahwa Rasulullah saw pernah memberikan ceramah khusus untuk para wanita pada waktu hari raya. Lalu, berdirilah seorang wanita dari tengah-tangah yang kedua pipinya nampak seraya berkata: 'Mengapa ya Rasulullah?" (HR. Muslim).

Dari hadits ini makin nampak bahwa muka boleh nampak dan tidak ditutup, karena dalam hadits di atas, lanjut kelompok ini, bahwa wanita yang bertanya tidak menutup mukanya. Kalau seandainya muka wajib ditutup, tentu wanita tersebut akan menutupnya.

Artinya: "Dari Ibnu Abbas, menceritakan kisah ceramah Rasulullah saw untuk para wanita pada hari raya, kemudian beliau menyuruh mereka para wanita untuk sedekah. Ibnu Abbas berkata: "Rasulullah saw lalu memerintahkan mereka kaum wanita untuk bersedekah, dan saya melihat tangan-tangan mereka melemparkan cincin gelang pada baju Bilal yang dihamparkan." (HR. Bukhari).

Menurut kelompok ini, dalam hadits di atas juga dikatakan bahwa Ibnu Abbas melihat tangan-tangan para wanita yang melemparkan perhiasan-perhiasannya. Ini juga membuktikan bahwa telapak tangan bukanlah aurat dan karenanya tidak wajib ditutup. Karena, apabila telapak tangan juga aurat, tentu para wanita itu akan menutupnya dan tidak akan menampakkannya.

Dalil lainnya adalah hadits berikut ini:

Ibnu Abbas berkata: "Suatu hari Fadhl bin Abbas membonceng Rasulullah saw. Tiba-tiba datang seorang wanita dari bani Khats'am, meminta fatwa kepada Rasulullah saw. Fadhl lalu melihat wanita tersebut dan wanita itupun menatapnya (terjadi adu pandang). Rasulullah saw lalu memalingkan muka Fadhl ke arah yang lain." (HR. Bukhari Muslim).

Menurut kelompok ini, hadits ini juga menjadi dalil bahwa muka bukanlah aurat dan karenanya tidak wajib ditutup. Buktinya, dalam hadits di atas, si wanita dari Bani Khats'am tidak menutup mukanya sehingga dapat dilihat oleh Fadhl bin Abbas. Kalau seandainya muka itu adalah aurat, tentu wanita itu akan menutupnya.

Sumber rujukan

Perdebatannya mengenai masalah memakai niqab ini sangat panjang, dan tidak mungkin saya tuturkan secara menyeluruh dalam makalah ini. Namun demikian untuk lebih memperluas dan memperdalam alasan-alasan dari masing-masing kelompok ulama di atas, saya cantumkan di bagian Penutup nanti, beberapa buku yang perlu dibaca berkaitan tulisan saya ini.

Buku-buku yang saya cantumkan nanti, umumnya buku-buku kontemporer dengan harapan menjadi penghubung untuk lebih mendalami persoalan dimaksud langsung ke sumber aslinya, yakni turats. Para ulama telah sepakat bahwa wanita wajib menutup seluruh tubuhnya selain muka dan kedua telapak tangan. Ini artinya, bahwa aurat wanita juga pakaian wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali muka dan telapak tangan.

Pada bagian penutup ini, ijinkan saya untuk kembali memberikan catatan-catatan akhir berkaitan dengan buku yang sedang dibedah ini:

Buku-buku ini, adalah beberapa buku kontemporer yang dapat saya kemukakan agar para pembaca buku Jilbab karya Dr. Quraish Shihab ada bandingan dan bisa sebagai bahan tambahan :

Buku-buku yang layak dibaca itu adalah; Muhammad Nashiruddin al- Albany, Hijabul Mar'ah al-Muslimah fil Kitab was Sunnah, al-Maktab al-Islamy, Beirut, Cet. Kedelapan, 1987, Muhammad Nashiruddin al-Albany, Jilbabul Mar'ah al-Muslimah fil Kitab was Sunnah, Maktabah al-Ma'arif, Riyad, 2002 (isi buku ini sama dengan buku Hijabul Mar'ah al-Muslimah di atas), Mushtafa as-Siba'i, al-Mar'ah Bainal Fiqh wal Qanun, Darus Salam, Kairo, Cet. Kedua, 2003, Muhammad Baltagi, Makanatul Mar'ah fil Qur'an al-Karim was Sunnah ash-Shahihah, Darus Salam, Kairo, Cet. Ketiga, 2005, Abdul Wahab Abdus Salam Thawilah, al-Albisah waz-Zinah, Darus Salam, Kairo, 2006, Abdul Halim Muhammad Abu Syuqah, Tahrirul Mar'ah fi Ashrir Risalah, Darul Qalam, Kuwait, Cet. Keenam, 2002, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Hijabul Mar'ah wa Libasuha fis Shalah, al-Maktab al-Islamy, Beirut, Cet. Keenam, 1985, Abu Abdullah Musthafa bin al-Adwy, al-Hijab: Ahkamun Nisa fi Sual wa Jawab, Dar Ibn Affan, Kairo, 2002, Muhammad Ahmad Ismail al-Muqaddam, Adullatul Hijab: Bahtsun Jami'un li Fadhailil Hijab wa Adillah Wujubihi war Radd 'Ala Man Abahas Sufur, Darul Iman, Iskandariah, 2002, Muhammad al-Ghazali, Qadhayal Mar'ah Bainat Taqalid ar-Rakidah wal Wafidah, Darus Syuruq, Kairo, Cet. Kedelapan, 2005, Su'ad Ibrahim Shalih, Qadayal Mar'ah al-Mu'ashirah: Ru'yah Syar'iyyah wa Nadhrah Waqi'ah, Maktabah at-Turats al-Islamy, Kairo, 2003,

Selain buku-buku kontemporer di atas, para pembaca juga diharapkan membaca buku-buku turats fiqh lainnya. Bahkan, ketika mengungkapkan menurut Madzhab Hanafi demikian mengenai batasan aurat ini, misalnya, tentu anda para pembaca dan kita semua diusahakan sedapat mungkin untuk melihat langsung kepada kutubul umm, buku primernya langsung, tidak melalui perantara buku lain yang sekunder atau tersier.


Penutup

Bagaimanapun, dari perdebatan dan perbedaan para ulama di atas dapat ditarik beberapa hal penting bahwa:

Pertama, Para ulama telah sepakat bahwa wanita wajib menutup seluruh tubuhnya selain muka dan kedua telapak tangannya, tentu termasuk di dalamnya rambut dan yang lainnya.

Kedua, Mengenai apakah muka dan talapak tangan adalah aurat atau tidak sehingga apakah wajib untuk di tutup atau tidak, terjadi perbedaan pendapat. Meski demikian, mereka yang beranggapan bahwa muka dan kedua telapak tangan bukanlah aurat, menganjurkan (sunnah saja), atau membolehkan wanita untuk menutup juga muka dan kedua telapak tangannya terlebih apabila dikhawatirkan akan menimbulkan banyak fitnah.

Ketiga, tidak ada satupun, sepengetahuan saya, dari para ulama yang menyerahkan batasan aurat ini kepada keadaan atau kondisi masing-masing, sebagaimana tidak ada yang berpendapat selain dari kedua telapak tangan dan wajah, misalnya rambut, betis, leher, bukan aurat. Semua sepakat semua itu aurat yang wajib ditutup.

Keempat, dalam keadaan darurat, sekali lagi darurat bukan kebutuhan sebagaimana sering disebut oleh Pak Quraish dalam buku Jibabnya, seseorang diperbolehkan melihat aurat lainnya dengan tentu menurut batasan-batasan tertentu plus setelah memenuhi beberapa persyaratan yang telah dibahas oleh para ulama dalam buku-buku fiqh. Kondisi darurat dimaksud misalnya untuk pengobatan yang sangat kronis, proses belajar mengajar atau ketika meminang.

Sebagai penutup, untuk guru saya, Prof. DR. Quraish Shihab—apabila beliau sempat membaca tulisan saya ini—saya memohon, untuk ke depan, hemat saya, Bapak sebaiknya tidak menerbitkan buku yang hanya mendeskripsikan pendapat sementara 'ulama' yang notabenenya bukan bidang yang digelutinya, basicnya bukan masalah yang dibahas.. Misalnya dalam buku Jilbab ini, Bapak mengungkapkan pendapat Syahrur, Asymawi, Nawal Sa'dawi atau yang lainnya, padahal Bapak dan kita semua tahu bahwa mereka semua tidak memiliki background fiqh, hukum Islam. Syahrur adalah seorang muhandis (insinyur), Asymawi seorang mustasyar (konsultan) bidang hukum positif dan Nawal Sa'dawi seorang penulis novel saja.

Sebab yang menjadi masalah, jikalau buku itu dibaca para masisir, mungkin tidak begitu menjadi persoalan. Setidaknya, sama-sama sudah memiliki basic yang kuat di samping mengetahui siapa Syahrur, Asymawi dan lainnya, tentu ini tak ada hubungan sentimen kepada mereka.

Namun, apabila yang membacanya orang umum biasa, masyarakat Indonesia yang awam, tentu akibatnya akan lain. Dia tidak memiliki basic hukum Islam, agama, juga tidak mengetahui siapa cendekiawan kontemporer yang dikutip itu.

Terlebih buku ini ditulis oleh Dr. Quraish –yang bagi kalangan masyarakat Indonesia-- dikenal sebagai seorang cendekiawan dan ulama. Orang awam tentu akan dengan mudah mengatakan bahwa apa yang ditulis dalam buku Jilbab itu adalah pendapat Dr. Quraish.

Lebih-lebih kalau ada masyarakat awam yang mengamalkan isi buku jilbab dengan mengambil pendapatnya Asymawi bahwa rambut pun boleh tidak ditutup, dengan dalih bahwa Dr. Quraish dalam bukunya Jilbab juga membolehkan hal itu. Tentu ini sangat fatal akibatnya. Bukan saja, orang tersebut sudah salah menafsirkan dan menisbahkan pendapat. Bahkan, saya menduga kalangan aktivis di Jaringan Islam Liberal (JIL) yang menerjemahkan buku Haqiqatul Hijab karya Muhammad Said al-Asymawi ini, besar kemungkinan karena terilhami dengan buku Jilbab Dr. Qurash Shihab ini, yang banyak mengutip pendapatnya. Sebagai akhir kata, perkenankanlah saya memohon maaf atas tulisan saya sudah diturunkan beberapa edisi ini. Mudah-mudahan ada bermanfaatnya bersama. Wallahu 'alam bis shawab.



*) Penulis sedang menyelesaikan thesis di pascasarjana Universitas al-Azhar Kairo Jurusan Ushul Fiqh. Makalah ini dipresentasikan pada acara bedah buku "Jilbab Pakaian Wanita Muslimah: Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendekiawan Kontemporer" karya DR. Quraish Shihab yang diselenggarakan kerjasama antara Senat Fakutlas Syari'iah Universitas al-Azhar Kairo dengan FORDIAN. Diolah kembali oleh redaksi www.hidayatullah.comadhytmakahenggeng48@gmail.com

Komentar

Postingan Populer